Sabtu, 07 Januari 2012

cerpen dari talitha :)

*Hujan selalu menyisakan percikan kenangan, yang tetap tak tersamar pelangi setelahnya. Sheila mendesah lalu meraih notes kecilnya, berniat mengalirkan barisan kata yang berkejaran di benaknya lewat ujung pena, tak peduli dengan guncangan kendaraan yang sedang dinaikinya.

“Dalam deru bus antarkota, aku menangkapi bayangannya yang masih menari di luar sana. Tersembunyi dalam titik-titik air yang mengetuk kaca jendela. Entah kapan aku bisa mengenyahkannya, ya tentang kamu dan hujan kala itu ..”

*
Hujan kala itu, mengawali kisah tentangnya.
‘Aku ingin mencintaimu dengan sederhana.
Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api.
Yang menjadikannya abu.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana.
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan.
Yang menjadikannya tiada.’


Pagi itu ditemani dendang rintik hujan, dikawani kesendirian dan di dalam ruang mading yang sarat kesunyian, Sheila sedang duduk sambil menekuri sehelai kertas puisi saduran tak bertuan yang tiba-tiba tergeletak pasrah di meja panjang ruangan. “Keren,” ucapnya pelan.

“Sapardi Djoko Damono.”

Sheila hampir mencelat dari kursinya karena kaget. Ia mengangkat wajah dan terkejut mendapati siapa yang barusan bersuara.

Pemuda itu berdiri di belakang Sheila, ikut mengamati kertas puisi yang sama. Tetesan air bergelayut di ujung-ujung rambutnya. Seragam yang sedikit basah menyurukkan wangi hujan dan harum maskulin alaminya, sejenak membuat Sheila terpana. Dia Aryo Junio, kapten tim basket putra SMA mereka yang kata teman-temannya amat berbakat dan tampan. Kadang Sheila memandangi Ryo (sapaan akrab Aryo) dari kejauhan, kemudian selalu bertanya tak mengerti kenapa pemuda ‘biasa saja’ ini begitu dielu-elukan.

Ryo menyunggingkan senyum miring “Itu Aku Ingin-nya Sapardi Djoko Damono kan ? larik itu termasuk dalam buku kumpulan puisi yang judulnya Hujan Bulan Juni. Keren banget tuh.” Celotehnya lancar lalu menarik bangku di ujung lain meja dan duduk disana.

Sheila cuma melongo, dia bahkan belum pernah mendengar nama penyair tadi kalau Ryo tidak menyebutnya, karena di kertas puisi itu pun tak tertulis siapa pembuatnya. Sheila juga tidak menyangka, Ryo yang selalu mengundang jeritan histeris gadis-gadis saat beraksi di lapangan itu ternyata ‘geek at heart’ juga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar